Demokrasi dalam Hukum
dan Perundang-undangan Indonesia
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Budaya Masyarakat Demokrasi
Dosen Pengampu:
Alinda Hamidah, M. Pd.
Disusun Oleh:
Dika Ayu Rahmawati (LF)
Program Studi Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL-FATTAH
SIMAN SEKARAN LAMONGAN
Oktober 2018
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan petunjuk-Nya kami dapat
menyelesaikan Makalah Budaya Masyarakat Demokrasi “Demokrasi dalam Hukum dan
Perundang-undangan Indonesia”
Makalah ini disusun berdasarkan tugas yang
diberikan oleh Dosen mata kuliah Budaya Masyarakat
Demokrasi untuk menambah wawasan penulis. Makalah ini disusun dengan
harapan dapat bermanfaat bagi semua kalangan dan terutama bagi penulis sendiri.
Ucapan terima kasih juga tak lupa kami haturkan kepada semua pihak yang telah
terlibat dalam penyusunan makalah ini, antara lain:
1. Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan tanpa gangguan.
2. Allinda
Hamidah, M. Pd. selaku Dosen mata kuliah Budaya
Masyarakat Demokrasi, yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini.
3. Keluarga yang senantiasa mendukung kami.
4. Teman-teman yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah.
5. Semua pihak yang telah terlibat yang tak dapat kami
sebutkan satu-persatu.
Kami menyadari makalah ini masih banyak memiliki
kekurangan. Untuk itu, kami mengaharapkan saran dan kritik yang membangun dari
semua pihak agar kedepannya kami lebih baik lagi dalam menyusun sebuah makalah.
Sekaran, 19 Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................
1
B. Rumusan Masalah...........................................................................
2
C. Tujuan..............................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Undang-Undang
dan Sistem Hukum.............................................. 4
B. Bentuk
Undang-Undang (Struktur Naskah)................................... 5
C. Materi Muatan
dan Bahasa Undang-Undang................................. 10
D. Prosedur
Pembentukan Undang-undang........................................ 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................
19
B. Saran ............................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan perundang-undangan akhir-akhir ini sangat populer
terutama untuk membuat suatu perundang-undangan yang baru. Ilmu pengetahuan
perundang-undangan dikembangkan di Eropa Barat di negara-negara yang berbahasa
Jerman dan Belanda.[1]
Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie),
dapat dikemukakan bahwa sejak proklamasi
17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunya
Undang-Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Konstitusi
Republik Indonesia Serikat; (3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia dan; (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diubah
(diamendemen) dengan empat kali perubahan. UUD 1945 sebelum perubahan tidak
menjelaskan tentang pembentukan undang-undang dengan lengkap, melainkan hanya
menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR, Sementara itu mengenai proses pembentukan undang-undang hanya
menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak mendapat persetujuan DPR
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan berikutnya.
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu
relatif sangat pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang
untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasas 1945, sebagai perwujudan
keinginan rakyat untuk melakukan reformasi di bidang hukum.
Perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi
mekanisme penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan, akibatnya berbagai
lembaga negara diwajibkan untuk melakukan pembenahan yang menyangkut fungsinya
untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut. Tidak hanya mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan
urusan pemerintahan tetapi juga mengbah kekuasaan membentuk undang-undang dari
semula yang dipegang presiden beralih menjadi wewenang Dewan Perwakilan Rakyat.
Sehingga, penataan pelaksanaan fungsinya akan memiliki pengaruh terhadap
kualitas pembentukan undang- undang di Indonesia. Langkah-langkah ke arah
pembentukan undang-undang yang berkualitas, sebagai bagian dari ikhtiar untuk
mendukung reformasi hukum, telah di implementasikan melalui Program Legislasi
Nasional (Prolegnas). Upaya perbaikan tersebut menyangkut proses pembentukanya
(Formal), maupun substansi yang diatur (Materil). Langkah ini dapat memberikan
jaminan, bahwa undang-undang yang dibentuk mampu menampung berbagai kebutuhan
dan perubahan yang cepat, dalam pelaksanaan pembangunan.
Undang-undang merupakan landasan hukum yang yang menjadi dasar
pelaksanaan dari keseluruhan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahaan. “legal
policy” yang dituangkan dalam undang-undang, menjadi sebuah sarana rekayasa
sosial, yang membuat kebijaksanaan yang hendak dicapai pemerintah, untuk
mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru.
Saat ini undang-undang memberikan bentuk yuridis terhadap campur
tangan sosial yang dilakukan oleh pembentuknya untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan negara. Undang- undang kini tidak lagi terutama berfungsi memberi bentuk
kristalisasi kepada nilai-nilai yanghidup dalam masyarakat, melainkan
memberikan bentuk bagi tindakan politik yang menentukan arah perkembangan
nilai-nilai tersebut. Dalam
uraian diatas maka dalam kesempatan ini penulis akan membuat suatu Proses
Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
B.
Rumusan Masalah
Untuk
mengetahui segala hal yang terkait dengan Demokrasi dalam Hukum dan
Perundang-undangan Indonesia, kami rumuskan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Mengapa dalam
pembentukan undang-undang harus mempunyai dasar hukum?
2. Bagaimana proses
pembentukan undang-undang?
C. Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah yang kami sajikan di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui tentang:
1. Alasan-alasan
pembentukan undang-undang yang harus mempunyai dasar hukum.
2. Proses
pembentukan perundang-undangan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Undang-undang dan Sistem Hukum
Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum.
Karenanya, proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem
hukum yang dianut oleh negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk
mengkaji pembentukan undang- undang secara komprehensif, haruslah dimulai
dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri.
Lawrence M. Friedman mengemukakan untuk memahami sistem hukum dapat
dilihat dari unsur yang melekat pada sistem hukum itu sendiri, yakni: “sistem
hukum mempunyai unsur-unsur, yaitu: struktur hukum (legal structure), substansi
hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture)”.[2]
Lebih lanjut dikemukakan, bahwa untuk mempermudahkan pemahaman
tentang sistem hukum, dapat dilakukan dengan: “mengambarkan
ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur hukum
seperti mesin. Substansi adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh mesin.
Budaya hukum adalah siapa saja yang ingin mematikan dan menghidupkan mesin itu
serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Satu saja komponen pendukung
tidak berfungsi maka niscaya sistem mengalami disfunction (kepincangan).
Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia,
khusunya pada masa Orde Baru, dengan memodifikasi serta memasukan unsur lain
dalam pembangunan hukum, kompenen sistem hukum yang dikemukakan Friedman juga
menjadi acuan. Pada Seminar Hukum Nasional Keenam yang diselengarakan oleh
Badan Hukum Nasional (BPHN), pada tahun 1994, ditetapkan adanya empat kelompok
atau aspek pembahasan utama dalam pembangunan hukum di Indonesia, yaitu:
1. Budaya hukum,
dengan rincian pembahasan tentang pengembangan sistem filsafat hukum nasional,
pembinaan kesadaran, dan perilaku budaya hukum nasional, penigkatan sumber daya
manusia dibidang hukum melalui pendidikan dan pelatihan hukum.
2. Materi Hukum,
dengan uraian subtema tentang, pengembangangan hukum tertulis peraruran
perundangan-undangan Indonesia, pengembangan yurisprudensi tetap, serta
pengembangan hukum kebiasaan.
3. Lembaga dan
Aparatur Hukum, dengan uraian subtema terdiri dari, pengembangan dan penataan
kembalihubungan antar lembaga-lembaga hukum di bidang penegakan hukum,
pembinaan hubungan antar lembaga-lembaga hukum dan pelayanan hukum, serta kerja
sama negara/ organisasi internasional.
4.
Pengembangan Sarana dan Prasarana Hukum, dengan Sub-Subtema,
peningkatan fungsi dan peranan kepustakaan hukum, pembinaan sistem dokumentasi
dan informasi hukum, serta moderenisasi sarana dan prasarana hukum.
Adanya pemahaman mengenai perngertian dari sistem hukum, dan
kaitanya dengan peroses pembentukan undang-undang, diharapkan akan berpengaruh
pada ditempatkanya pembentukan undang-undang, sebagai bagian utama proses
berjalanya sistem hukum. Akan tetapi, pengembangan substansi hukum melalui
pembentukan, juga amat tergantung pada pengembangan sistem kelembagaan hukum
atau struktur hukum yang ada. Selain itu, keberhasilan dan berkembangnya sistem
hukum juga akan sangat ditentukan oleh budaya hukum yang ada.[3]
B. Bentuk
Undang-undang (Struktur Naskah)
1.
Kepala Surat
Kepala surat
adalah bentuk formal penulisan atau format kertas pengesahan suatu
undang-undang. Dari segi formatnya itu, Undang-Undang Republik Indonesia selama
ini mempunyai kepala surat yang didahului oleh lambang Bintang di antara
lingkaran Padi dan Kapas disertai dengan kata-kata Presiden Republik Indonesia.
Dengan kepala surat yang demikian, berarti lembaga yang menerbitkan Undang-
Undang Republik Indonesia adalah Presiden. Kerangka undang-undang terdiri atas:
a. Judul
b. Pembukaan
c. Batang tubuh
d. Penutup
e. Penjelasan
f. Lampiran.
Setiap
undang-undang harus dirumuskan dengan judul tertentu. Dalam rumusan judul itu
dimuat kete-rangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan, pene- tapan, atau
pengundangan, dan nama resmi undang-undang yang bersangkutan. Dalam praktik di
berbagai negara, judul undang-undang kadang-kadang terdiri atas judul panjang
(long title) dan judul singkat (short title). Akan tetapi, dalam praktik di
Indonesia sejak dulu, biasanya judul undang-undang hanya dibuat pendek. Yang
penting judul tersebut mencerminkan substansi undang-undang bersangkutan.[4]
2.
Pembukaan (Preambule)
Judul dan
panjangnya judul seringkali dipakai pula sebagai pengganti pembukaan
(preambule). Jika naskah undang-undang dasar dan piagam biasanya dimulai dengan
“preambule” atau pembukaan, maka naskah undang-undang biasa dirumuskan tanpa
pembukaan. Namun, dalam hal pembukaan itu dirumuskan, seperti dalam
undang-undang yang bersifat khusus atau dalam undang-undang dasar, maka pada
pokoknya pembukaan itu adalah merupakan kalimat pengantar dimana objek, maksud
dan tujuan undang-undang yang bersangkutan dibentuk diuraikan.
3.
Konsideran
Konsideran yang
terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya, berkaitan dengan 5 (lima)
landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam
undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh undang-undang
itu. Kelima landasan dimaksud adalah landasan yang bersifat filosofis,
sosiologis, politis, dan landasan juridis, serta landasan yang bersifat
administratif. Empat landasan pertama, yaitu landasan filosofis, sosiologis,
politis, dan juridis bersifat mutlak, sedangkan satu landasan terakhir, yaitu
landasan administratif dapat bersifat fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu
ada dalam setiap undang-undang. Sedangkan landasan administratif tidak mutlak
harus selalu ada. Dicantumkan tidaknya landasan administratif itu tergantung
kepada kebutuhan. Bahkan, kadang-kadang lan- dasan filosofis juga tidak
dibutuhkan secara mutlak.
4.
Landasan Filosofis
Undang-undang
selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu
masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara
hendak diarahkan. Karena itu, undang-undang dapat digambarkan sebagai cermin
dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan
filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui
pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Karena itu, cita-
cita filosofis yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah mencerminkan
cita-cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang bersangkutan itu
sendiri.
5.
Ketentuan Umum (Interpretation Clause)
Dalam praktik
di Indonesia, “Definition Clause” atau “Interpretation Clause” biasanya disebut
dengan Ketentuan Umum. Dengan sebutan demikian, seharusnya, isi yang terkandung
di dalamnya tidak hanya terbatas kepada pengertian-pengertian operasional
istilah-istilah yang dipakai seperti yang biasa dipraktikkan selama ini. Dalam
istilah “Ketentuan Umum” seharusnya termuat pula hal-hal lain yang bersifat
umum, seperti pengantar, pembukaan, atau “preambule” undang-undang. Akan
tetapi, telah menjadi kelaziman atau kebiasaan sejak dulu bahwa setiap
undang-undang selalu didahului oleh “Ketentuan Umum” yang berisi pengertian
atas istilah-istilah yang dipakai dalam un-dang-undang yang bersangkutan.
Dengan demikian, fungsi ketentuan umum ini persis seperti “definition clause”
atau “interpretation clause” yang dikenal di berbagai negara lain.
6.
Ketentuan Khusus atau “Provisio”
Di antara
ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang, kadang-kadang terdapat ketentuan
yang bersifat khusus. Ketentuan dimaksud biasa dirumuskan secara khusus dan
berbeda daripada substansi pokok materi undang-undang yang bersifat umum.
Pasal-pasal khusus itu biasanya dirumuskan dalam seksi atau sub-bab tersendiri
yang berisi norma kekecualian terhadap ketentuan pokok dalam seksi atau sub-bab
utama (the main section). Ketentuan pasal-pasal demikian itu biasa dinamakan
sebagai “provisio” yang dibedakan dari ke-tentuan pada umumnya yang dalam
bahasa Inggeris disebut “provision”. Kata “provision” ini dalam bahasa
Indonesia biasanya kita terjemahkan dengan “keten-tuan”, sedangkan “provisio”
dapat saja kita terjemahkan dengan istilah “ketentuan khusus” atau kita sebut
“provi-sio” saja. Pada prinsipnya, ketentuan yang disebut “provi-sio” tersebut
merupakan suatu kualifikasi tertentu terhadap norma hukum yang bersifat umum
yang terda-pat dalam suatu seksi atau sub- bab undang-undang.
7.
Ketentuan Tambahan
Ketentuan
Tambahan (Additional Provisions) atau Ketentuan
Lain-Lain adalah ketentuan yang berisi tambahan norma terhadap substansi
pokok yang hendak diatur dalam undang-undang. Biasanya, Ketentuan Tambahan ini
ditempatkan dalam bab yang tersendiri sebelum Ketentuan Penutup atau bahkan
sebelum Ke-tentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup. Sesuai de-ngan kebutuhan,
kadang-kadang ketentuan tambahan ini dapat pula dimuat dalam Ketentuan Penutup.
Namun, pada umumnya, ketentuan tambahan dimuat dalam bab tersendiri, yaitu Bab
Ketentuan Tambahan sebelum Bab Ketentuan Peralihan. Dinamakan sebagai ketentuan
tambahan (additional provisions) karena isinya memang bukan substansi yang
bersifat utama atau pokok, melainkan hanya menyangkut hal-hal lain yang
seharusnya menjadi materi undang- undang lain.
8.
Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihan
adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi mengatasi
kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan normatif dari
ketentuan lama ke ketentuan baru. Ketentuan peralihan ini memuat penyesuaian
terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan
perundang-undangan yang baru mulai berlaku agar peraturan perundang- undangan
tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
Apabila diperlukan penulisan ketentuan peralih-an itu dituangkan dalam bab yang
tersendiri, yaitu sesudah ketentuan pidana dan sebelum ketentuan penutup. Jika
tidak diperlukan bab yang tersendiri, maka ketentuan peralihan itu biasanya
ditempatkan sebagai ketentuan terakhir sebelum pasal yang memuat keten-tuan
penutup.
9.
Ketentuan Penutup
Ketentuan
Penutup berbeda dari Kalimat Penutup. Dalam undang-undang, yang biasanya
dirumuskan sebagai Ketentuan Penutup adalah ketentuan yang berkenaan dengan
pernyataan mulai berlakunya undang-undang atau mulai pelaksanaan suatu
ketentuan undang-undang. Ketentuan penutup dalam suatu undang-undang dapat
memuat ketentuan pelaksanaan yang bersifat eksekutif atau legislatif. Yang
bersifat eksekutif, misal-nya, menunjuk pejabat tertentu yang diberi kewenangan
untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, atau untuk mengeluarkan dan mencabut
perizinan, lisensi, atau konsesi, pengangkatan dan memberhentikan pegawai, dan
lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat legislatif, misalnya, memberi wewenang
untuk membuat peraturan pelaksanaan lebih lanjut (delegation of rule-making
power) dari apa yang diatur dalam peraturan undang-undang yang bersangkutan.
10.
Lampiran
Peraturan
perundang-undangan dapat dilengkapi dengan lampiran. Lampiran- lampiran itu
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam hal peraturan perundang-undangan
memerlukan lampiran, maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas dalam batang
tubuh disertai pernyataan yang menegaskan bahwa lampiran tersebut merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Pada akhir lampiran, harus dicantumkan nama dan tanda tangan
pejabat yang mengesahkan atau menetapkan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.[5]
C. Materi Muatan dan
Bahasa Undang-Undang
1. Materi Muatan
Materi muatan yang harus diatur
dengan Undang- Undang berisi:
a.
pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c.
pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dalam ayat 1 UU No.12 Tahun 2011 sebagai
berikut: “Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas pengayoman, kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka
tunggal ika, keadilan, kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban
dan kepastian hukum dan atau keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan.
Sedangkan ayat 2, UU No.12 Tahun
2011 menyatakan
“Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Peraturan Perundang- undangan
tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan”.
Apa yang dimaksudkan dengan
asas-asas yang berlaku dalam materi muatan peraturan perundang-undangan
tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:
a.
Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat.
b.
Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c.
Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d.
Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
e.
Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan
materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f.
Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah
sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g.
Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
h.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang.
Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara.[6]
2. Bahasa
Undang-Undang
Pada pokoknya, bahasa peraturan
perundang-undangan tunduk kepada kaidah- kaidah bahasa Indonesia yang baik dan
benar, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik
penulisan, maupun penulisan ejaan dan tanda bacanya. Namun, disamping itu, bahasa peraturan dapat dikatakan mempunyai
corak yang tersendiri. Bahasa peraturan mempunyai ciri-ciri kejelasan
pengertian, kejernihan dan kelugasan perumusan, kebakuan, keserasian, dan
ketaat-asasan dalam penggunaan kata-kata sesuai dengan kebutuhan hukum yang
dihadapi. Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan, para perancang biasanya diharuskan menggunakan
kalimat-kalimat yang singkat, tegas, jelas, dan mudah dimengerti oleh khalayak.
Dalam menyusun kalimat perumusan ketentuan
peraturan perundang- undangan, para perancang yang baik akan selalu berusaha
menghindari penggunaan kata-kata atau frasa yang artinya kurang menentu,
konteksnya yang kurang jelas, atau malah akan menimbulkan kebingungan. Biasanya, ketentuan-ketentuan dalam undang- undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya dirumuskan sedemikian rupa sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia
yang baku.
Untuk memperluas pengertian kata atau istilah
yang sudah diketahui oleh umum tanpa membuat definisi baru, para perancang
biasanya menggunakan kata “meliputi” atau “termasuk” (includes) yang akan
mencakup pengertian objek-objek yang disebut sesudahnya. Sebaliknya, untuk mempersempit pengertian, biasanya digunakan kata
“tidak meliputi” atau “tidak termasuk” (does not include).
Para perancang dianjurkan untuk
menghindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu
menyimpang dari makna yang biasa digunakan sehari-hari. Dengan demikian,
rumusan bahasa undang-undang dan peraturan lainnya tidak menggunakan kata-kata
yang sama sekali bertentangan dengan pengetahuan umum. Juga harus dihindarkan
penggunaan satu kata atau istilah yang mempunyai arti berbeda- beda di satu
tempat dengan tempat yang lain dalam satu undang-undang. Demikian pula harus
dihindari penggunaan kata atau istilah yang berbeda-beda untuk pengertian yang
sama dalam satu undang-undang.
Suatu istilah atau kata yang disebut
berulang-ulang dalam undang-undang yang sama, maka dianjurkan agar memuat kata
atau istilah tersebut dalam ketentuan umum atau pasal yang memuat pengertian
kata dan istilah-istilah. Untuk efisiensi perumusan, pengulangan frasa yang
panjang dapat disingkat, yaitu setelah penyebutan frasa itu untuk pertama kali
ditambah perkataan “yang selanjutnya disebut ............”.
Dalam perumusan ketentuan
undang-undang dan peraturan perundang- undangan seringkali kita harus
menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Dalam hal demikian, para
perancang yang baik harus berusaha menghindari istilah- istilah asing tersebut.
Jika memang hal itu terpaksa dilakukan, maka penggunaan kata atau
istilah-istilah asing itu hanya ditempatkan dalam penjelasan, bukan dalam
perumusan pasal-pasal (batang tubuh) peraturan. Pertama, dituliskan dulu
istilah bahasa Indonesianya, baru setelah itu bahasa asingnya yang ditempatkan
dalam kurung. Misalnya, “penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)”,
dan sebagainya.
Untuk istilah-istilah atau frasa
dari bahasa asing yang sudah diserap dalam praktik bahasa Indonesia, maka
penyerapan kata atau frasa asing yang telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah
bahasa Indonesia dapat saja digunakan dalam perumusan ketentuan undang-undang
dan peraturan lainnya. Penggunaan kata asing yang telah disesuaikan tersebut
dapat dilakukan apabila kata-kata, istilah, atau frasa itu memang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a.
mempunyai konotasi yang cocok
b.
lebih singkat daripada padanannya yang ada dalam bahasa Indonesia
c.
mempunyai corak internasional
d.
lebih mempermudah dicapainya kesepakatan pengertian
e.
lebih mudah dipahami daripada padanannya dalam bahasa Indonesia.[7]
D. Prosedur
Pembentukan Undang-Undang
1. Perencanaan
Undang-Undang
Perencanaan penyusunan
UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang
dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang integralistik, baik dalam
konteks pembentukan UU maupun peraturan di bawah UU. Penyusunan daftar RUU yang
masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:
a. Perintah UUD
NKRI Tahun 1945;
b. Perintah
Ketetapan MPR;
c. Perintah UU
lainya;
d. Sistem
perencanaan pembangunan nasional;
e. Rencana
pembangunan jangka panjang nasional;
f. Rencana
pembangunan jangka menegah;
g. Rencana kerja
pemerintah dan rencana strategis DPR;
h. Aspirasi dan
kebutuhan masyarakat.
Penyusunan
Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitanya dengan
peraturan perundang-undangan lainya. Materi yang diatur dan keterkaitanya
dengan peraturan perundang-undang lainya merupakan keterangan mengenai konsep
RUU yang meliputi:
a. Latar belakang
dan tujuan penyusunan
b. Sasaran yang
ingin diwujudkan
c. Jangkauan
dan arah peraturan.[8]
2. Penyusunan
Undang-Undang
Didalam tahap
penyusunan UU, proses penyusunanya dilakukan mulai dari perencanaan rancangan
UU berdasarkan daftar prioritas Prolegnas. Selanjutnya penyiapan RUU yang
diajukan oleh Presiden atau DPR.
Dalam pengajuan
RUU, baik yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertai Naskah
Akademik. UU PPP menjadikan Naskah Akademik sebagai persyaratan dalam pengajuan
sebuah RUU, kecuali terhadap RUU, mengenai:
a. APBN;
b. Penetapan
Perpu; atau
c. Pencabutan UU
atau pecabutan Perpu; yang cukup disertai dengan keterangan yang memuat pokok
pikiran dan meteri muatan yang diatur.
Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik adalah sebagaimana
yang dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP bahwa penyusunan Naskah Akademik yang
tercantum dalam Lampiran 1 UU PPP, sehingga didapatkan formula Naskah Akademik
yang sama, baik dari sisi sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam
substansi yang akan diatur.
Untuk memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai prosedur dan
teknik penyusunan perundang-undangan, maka diatur ketentuan bahwa setiap RUU
yang diajukan kepada DPR oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD
harus dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh
Badan Legislasi DPR RI. Demikian halnya terhadap RUU yang diajukan oleh
Presiden yang penyiapkanya dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga
pemerintahan nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas tanggung jawabnya,
dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh
Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan
mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU didalam
Pasal 46 dan 47 UU PPP diatur lebih jelas, tersetruktur, dan masing-masing
terintegrasi didalam peraturan DPR maupun Perpres tentang tata cara
mempersiapkan RUU.[9]
3. Pembahasan
Rancangan Undang-Undang
Ketentuan
Pasal 65 ayat (1) UU PPP menjelaskan bahwa pembahasan RUU dilakukan oleh DPR
bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Hal ini sesuai bunyi Pasal 20 ayat
(2) UUD NKRI Tahun 1945, yakni “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Adapun pelibatan atau
keikutsertaan DPD dalam pembahsan RUU hanya dilakukan apabila RUU yang dibahas
berkaitan dengan:
a. Otonomi daerah
b. Hubungan pusat
dan daerah
c. Pembentukan,
pemekaran, penggabungan daerah
d. Pengelolahan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya; dan
e. Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya
pada pembicara tingkat I (Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD diwakili
oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan RUU tersebut.[10]
4. Pengesahan
Rancangan Undang-Undang
Sesuai
ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Peresiden untuk disahkan menjadi
UU. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penentuan tenggang waktu 7
(tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan
dengan teknis penulisan RUU kelembaran resmi Presdiden sampai dengan
penandatangan pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus
pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) oleh Mentri Hukum dan
HAM.
5. Pengundangan
Pengundangan
peraturan perundang-undangan didalam UU PPP tetap dilakuakan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Penempatan peraturan
perundang-undangan didalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara
Republik Indonesia hanya berupa batang tubuh peraturan perundang-undangan an
sich. Sementara penjelasan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan perundang-undangan yang dimuat
dalam Berita Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia. Untuk
melaksanakan pengundangan peraturan perundangan-undangan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.[11]
6. Penyebarluasan
Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan untuk memberikan
informasi dan/atau memproleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan
mengenai Prolegnas dan RUU yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah
diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap
Prolegnas dan RUU tersebut atau memahami UU yang telah diundangkan. Kegiatan penyebarluasan tersebut dilakukan melalui media
elektroknik dan/atau media cetak.
Ketentuan pasal
89 UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan, bukan hanya kewenagan
pemerintah semata, melainkan penyebarluasan dilakukan secara bersama oleh DPR
dan pemerintah. Didalam UU ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan
bersama oleh DPR dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR.
Penyebarluasan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh
komisi/panitia/badan/Badan Legislasi DPR. Sementara penyebarluasan RUU yang
berasal dari presiden dilaksankan oleh instansi pemrakarsa.
Demikian halnya
terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa penyebarluasan UU yang telah diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) dilakukan secarara bersama-sama oleh DPR dan
pemerintah. Dalam hal UU yang berkaitan disahkan berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka penyebarluasan UU
tersebut dapat dilakukan juga oleh DPD.[12]
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pembentukan undang-undang harus mempunyai dasar hukum dikarenakan:
a. Undang-undang
merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Dalam pembentukan undang-undang
harus diketahui sistem hukum apa yang dipakai oleh negara terssebut.
b. Pembentukan
undang-undang mengalami ketidak jelasan arti dan penjabarannya dalam perumusan
pembuatannya, sistemtika yang tidak baik dan bahasa yang sukar dimengerti.
c. Politik sering
melakukan intervensi atas pembuatan undang-undang dan pelaksanaan hukum.
2.
Proses pembentukan undang-undang dibagi menjadi dua yakni:
a.
Atas inisiatif Presiden yang prosesnya dimulai dari perencanaan
melalui prolegnas, pembahasan ditingkat pemerintah, pembahasan ditingkat Dewan
Perwakilan Rakyat, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbagai
media.
b.
Atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang prosenya dimulai dari
perencanaan melalui prakarsa Dewan Perwakiilan Rakyat dengan persetujuan
Presiden, pembahasan, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbaga
media.
B. Saran
Mata kuliah ini sangat penting
bagi calon seorang guru, sehingga penulis berharap agar dosen juga mengarahkan
apabila dalam pemaparan isi dan lainnya kami melakukan kesalahan. Saran penulis
terhadap pembaca yaitu pembeca hendaknya memahami isi makalah ini karena materi
yang ada di dalamnya dapat digunakan sebagai bahan ajar ketika mengajar di
SD/MI.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Perihal Undang-Undang.
Jakarta: Rajawali Pers.
Farida, Maria. 1998. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius.
UU NO. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia.
Yani, Ahmad. 2013. Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang Responsif.
Jakarta: Konstitusi Press.
Yuliandri. 2010. Asas-asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang
Baik.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
[1] Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 1998,
hal. 2.
[2] Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan yang Baik,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hal. 31.
[3] Yuliandri, Asas-asas...h.36
[4] Jimly Asshiddqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers,
2011, hal. 159.
[5] Jimly Asshiddqie, Perihal...h. 167.
[6] UU No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia, Pasal 7
[7] Jimly Asshiddqie, Perihal..., h. 245.
[8] Ahmad Yani, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Responsif,
Jakarta: Konstitusi Press, 2013, hal. 25.
[9] Ahmad Yani, Pembentukan... h. 32
[10] Ahmad Yani, Pembentukan... h. 32
[11] Ahmad Yani, Pembentukan... h. 45.
[12] Ahmad Yani, Pembentukan... h.52
0 Comments