A. LANDASAN DALAM BIMBINGAN DAN
KONSELING
1. LANDASAN FILOSOFIS
1.1 Makna dan Fungsi Prinsip-prinsip
Filosofis Bimbingan Konseling
Kata filosofis atau filsafat berasal
dari bahasa Yunani: Philos berarti cinta dan sophos berarti bijaksana, jadi
filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan. Sikun pribadi mengartikan
filsafat sebagai suatu “usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi
tentang segala yang ada, dan apa makna hidup manusia dialam semesta ini”.[1]
Filsafat mempunyai fungsi dalam
kehidupan manusia, yaitu bahwa :
1) Setiap manusia harus mengambil
keputusan atau tindakan,
2) Keputusan yang diambil adalah
keputusan diri sendiri
3) Dengan berfilsafat dapat
mengurangi salah paham dan konflik, dan
4) Untuk menghadapi banyak
kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah.
Dengan berfilsafat seseorang akan
memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil
keputusan yang tepat John J. Pietrofesa et. al. (1980) mengemukakan pendapat
James Cribin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut:
a. Bimbingan hendaknya didasarkan
kepada pengakuan akan kemuliaan dan harga diri individu dan hak-haknya untuk
mendapat bantuannya.
b. Bimbingan merupakan proses yang
berkeseimbangan
c. Bimbingan harus Respek terhadap
hak-hak klien
d. Bimbingan bukan prerogatif
kelompok khusus profesi kesehatan mental
e. Fokus bimbingan adalah membantu
individu dalam merealisasikan potensi dirinya
f. Bimbingan merupakan bagian dari
pendidikan yang bersifat individualisasi dan sosialisasi
1.2 Hakikat Manusia
a. B.F Skinner dan Watsan (Gerold
Corey, Terjemahan E. Koeswara, 1988). Mengemukakan tentang hakekat manusia:
– Manusia dipandang memiliki
kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama
– Manusia pada dasarnya dibentuk dan
ditentukan oleh lingkungan sosial budaya
– Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari
– Manusia tidak memiliki kemampuan
untuk membentuk nasibnya sendiri
b.Virginia Satir (Dalam Thompson dan
Rodolph, 1983). Memandang bahwa manusia pada hakekatnya positif, Satir
berkesimpulan bahwa pada setiap saat, dalam suasana apapun juga, manusia dalam
keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Upaya-upaya bimbingan dan konseling
perlu didasarkan pada pemahaman tentang hakekat manusia agar upaya-upaya
tersebut dapat lebih efektif.
1.3 Tugas dan Tujuan Kehidupan
Witner dan Sweeney (dalam Prayitno
dan Erman Anti, 2002) mengemukakan bahwa ciri-ciri hidup sehat ditandai dengan
5 kategori, yaitu:
– Spiritualitas ~ agama sebagai
sumber inti dari hidup sehat.
– Pengaturan diri ~ seseorang yang
mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapat ciri-ciri 1. rasa diri berguna,
2. pengendalian diri, 3.pandangan realistik, 4. spontanitas dan kepekaan
emosional, 5. kemampuan rekayasa intelektual, 6. pemecahan masalah, 7. kreatif,
8. kemampuan berhumor dan, 9. kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
– Bekerja ~ untuk memperoleh
keuntungan ekonomis, psikologis dan sosial
– Persahabatan ~ persahabatan
memberikan 3 keutamaan dalam hidup yaitu 1. dukungan emosional 2. dukungan
material 3. dukungan informasi .
– Cinta ~ penelitian flanagan 1978
(dalam Prayitno dan Erman Anti, 2006) menemukan bahwa pasangan hidup suami
istri, anak dan teman merupakan tiga pilar utama bagi keseluruhan pencipta
kebahagiaan manusia.
Paparan tentang hakikat, tujuan dan
tugas kehidupan manusia diatas mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan
konseling.
B. Landasan Historis
- Sekilas tentang sejarah
bimbingan dan konseling
Secara umum, konsep bimbingan dan
konseling telah lama dikenal manusia melalui sejarah. Sejarah tentang
pengembangan potensi individu dapat ditelusuri dari masyarakat yunani kono.
Mereka menekankan upaya-upaya untuk mengembangkan dan menguatkan individu
melalui pendidikan. Plato dipandang sebagan koselor Yunani Kuno karena dia
telah menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah pemahaman psikologis
individu seperti menyangkut aspek isu-isu moral, pendidikan, hubungan dalam
masyarakat dan teologis.
- Perkembangan Layanan Bimbingan
di Amerika
Sampai awal abad ke-20 belum ada
konselor disekolah. Pada saat itu pekerjaan-pekerjaan konselor masih ditangani
oleh para guru.
Gerakan bimbingan disekolah mulai
berkembang sebagai dampak dari revolusi industri dan keragaman latar belakang
para siswa yang masuk kesekolah-sekolah negeri. Tahun 1898 Jesse B. Davis,
seorang konselor di Detroit mulai memberikan layanan konseling pendidikan dan
pekerjaan di SMA. Pada tahun 1907 dia memasukkan program bimbingan di sekolah
tersebut.
Pada waktu yang sama para ahli yang
juga mengembangkan program bimbingan ini diantaranya; Eli Weaper, Frank Parson,
E.G Will Amson, Carlr. Rogers.
– Eli Weaper pada tahun 1906
menerbitkan buku tentang “memilih suatu karir” dan membentuk komite guru
pembimbing disetiap sekolah menengah di New York. Kamite tersebut bergerak
untuk membantu para pemuda dalam menemukan kemampuan-kemampuan dan belajar
tentang bimbingan menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka menjadi
seorang pekerja yang produktif.
– Frank Parson dikenal sebagai “Father
of The Guedance Movement in American Education”. Mendirikan biro pekerjaan
tahun 1908 di Boston Massachussets, yang bertujuan membantu pemuda dalam
memilih karir uang didasarkan atas proses seleksi secara ilmiyah dan melatih
guru untuk memberikan pelayanan sebagai koselor.
Bradley (John J.Pie Trafesa et. al.,
1980) menambah satu tahapan dari tiga tahapan tentang sejarah bimbingan menurut
Stiller, yaitu sebagai berikut:
1) Vocational exploration : Tahapan
yang menekankan tentang analisis individual dan pasaran kerja
2) Metting Individual Needs :
Tahapan yang menekankan membantu individu agar meeting memperoleh kepuasan
kebutuhan hidupnya. Perkembangan BK pada tahapan ini dipengaruhi oleh diri dan
memecahkan masalahnya sendiri.
3) Transisional Professionalism :
Tahapan yang memfokuskan perhatian kepada upaya profesionalisasi konselor
4) Situasional Diagnosis : Tahapan
sebagai periode perubahan dan inovasi pada tahapan ini memfokuskan pada
analisis lingkungan dalam proses bimbingan dan gerakan cara-cara yang hanya
terpusat pada individu.
- Perkembangan Layanan Bimbingan
Di Indonesia
Layanan BK di industri Indonesia
telah mulai dibicarakan sejak tahun 1962. ditandai dengan adanya perubahan
sistem pendidikan di SMA yakni dengan adanya program penjurusan, program
penjurusan merupakan respon akan kebutuhan untuk menyalurkan siswa kejurusan
yang tepat bagi dirinya secara perorangan. Puncak dari usaha ini didirikan
jurusan Bimbingan dan penyuluhan di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Negeri, salah
satu yang membuka jurusan tersebut adalah IKIP Bandung (sekrang berganti nama
Universitas Pendidikan Indonesia).
Dengan adanya gagasan sekolah
pembangunan pada tahun 1970/1971, peranan bimbingan kembali mendapat perhatian.
Gagasan sekolah pembangunan ini dituangkan dalam program sekolah menengah
pembangunan persiapan, yang berupa proyek percobaan dan peralihan dari sistem
persekolahan Cuma menjadi sekolah pembangunan.
Sistem sekolah pembangunan tersebut
dilaksanakan melalui proyek pembaharuan pendidikan yang dinamai PPSP (Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan) yang diujicobakan di 8 IKIP. Badan pengembangan
pendidikan berhasil menyusun 2 naskah penting yakni dengan pola dasar
rencana-rencana pembangunan program Bimbingan dan penyuluhan melalui
proyek-proyek perintis sekolah pembangunan dan pedoman operasional pelayanan
bimbingan pada PPSP.
Secara resmi BK di programkan
disekolah sejak diberlakukan kurikulum 1975, tahun 1975 berdiri ikatan petugas
bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang.
Penyempurnaan kurikulum 1975 ke
kurikulum 1984 dengan memasukkan bimbingan karir di dalamnya. Selanjutnya UU
No. 0/1989 tentang Sisdiknas membuat mantap posisi bimbingan dan konseling yang
kian diperkuat dengan PP No. 20 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No. 29 Bab X Pal
27/1990 yang menyatakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan
kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan
merencanakan masa depan.
Perkembangan BK di Indonesia semakin
mantap dengan berubahnya 1 PBI menjadi ABKIN (Asuransi Bimbingan dan Konseling
Indonesia) tapa tahun 2001.
C. Landasan Religius
Dalam landasan religius BK
diperlukan penekanan pada 3 hal pokok:
a. Keyakinan bahwa mnusia dan
seluruh alam adalah mahluk tuhan
b. Sikap yang mendorong perkembangan
dan perikehidupan manusia berjalan kearah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama
c. Upaya yang memungkinkan
berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya
serta kemasyarakatan yang sesuai dengan kaidah-kaidah agama untuk membentuk
perkembangan dan pemecahan masalah individu
Landasan Religius berkenaan dengan :
- Manusia sebagai Mahluk Tuhan
Manusia adalah mahluk Tuhan yang
memiliki sisi-sisi kemanusiaan. Sisi-sisi kemanusiaan tersebut tdiak boleh
dibiarkan agar tidak mengarah pada hal-hal negatif. Perlu adanya bimbingan yang
akan mengarahkan sisi-sisi kemanusiaan tersebut pada hal-hal positif.
- Sikap Keberagamaan
Agama yang menyeimbangkan antara
kehidupan dunia dan akhirat menjadi isi dari sikap keberagamaan. Sikap
keberagamaan tersebut pertama difokuskan pada agama itu sendiri, agama harus
dipandang sebagai pedoman penting dalam hidup, nilai-nilainya harus diresapi
dan diamalkan. Kedua, menyikapi peningkatan iptek sebagai upaya lanjut dari
penyeimbang kehidupan dunia dan akhirat.
- Peranan Agama
Pemanfaatan unsur-unsur agama
hendaknya dilakukan secara wajar, tidak dipaksakan dan tepat menempatkan klien
sebagai seorang yang bebas dan berhak mengambil keputusan sendiri sehingga
agama dapat berperan positif dalam konseling yang dilakukan agama sebagai
pedoman hidup ia memiliki fungsi :
a. Memelihara fitrah
b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal
d. Memelihara keturunan
D. Landasan Psikologis
Landasan prikologis dalam BK
memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menajadi sasaran
(klien). Hal ini sangat penting karena bidang garapan bimbingan dan konseling
adalah tingkah laku klien, yaitu tingkah laku yang perlu diubah atau
dikembangkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
Untuk keperluan bimbingan dan
konseling sejumlah daerah kajian dalam bidang psikologi perlu dikuasai, yaitu
tentang:
1. Motif dan motivasi
2. Pembawaan dasar dan lingkungan
3. Perkembangan individu
4. Belajar, balikan dan penguatan
5. Kepribadian
E. Landasan Sosial Budaya
Kebudayaan akan bimbingan timbul
karena terdapat faktor yang menambah rumitnya keadaan masyarakat dimana
individu itu hidup. Faktor-faktor tersebut seperti perubahan kontelasi
keuangan, perkembagan pendidikan, dunia-dunia kerja, perkembangan komunikasi
dll (Jonh), Pietrofesa dkk, 1980; M. Surya & Rochman N, 1986; dan Rocman N,
1987)
- Individu sebagai Produk
Lingkungan Sosial Budaya
MC Daniel memandang setiap anak,
sejak lahirnya harus memenuhi tidak hanya tuntutan biologisnya, tepapi juga
tuntutan budaya ditempat ia hidup, tuntutan Budaya itu menghendaki agar ia
mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan pola-pola yang dapat
diterima dalam budaya tersebut.[2]
Tolbert memandang bahwa organisasi
sosial, lembaga keagamaan, kemasyarakatan, pribadi, dan keluarga, politik dan
masyarakat secara menyeluruh memberikan pengaruh yang kuat terhadap sikap,
kesempatan dan pola hidup warganya. Unsur-unsur budaya yang ditawarkan oleh
organisasi dan budaya lembaga-lembaga tersebut mempengaruhi apa yang dilakukan
dan dipikirkan oleh individu, tingkat pendidikan yang ingin dicapainya,
tujuan-tujuan dan jenis-jenis pekerjaan yang dipilihnya, rekreasinya dan
kelompok-kelompok yang dimasukinya.[3]
Bimbingan konseling harus
mempertimbangkan aspek sosial budaya dalam pelayanannya agar menghasilkan
pelayanan yang lebih efektif.
- Bimbingan dan Konseling Antara
Budaya
Menurut Pedersen, dkk ada 5 macam
sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi non verbal, stereotip,
kecenderungan menilai, dan kecemasan[4].
Perbedaan dalam latar belakang ras
atau etnik, kelas sosial ekonomi dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam
hubungan konseling.
Beberapa Hipotesis yang dikemukakan
Pedersen dkk (1976) tentang berbagai aspek konseling budaya antara lain:
– Makin besar kesamaan harapan
tentang tujuan konseling antara budaya pada diri konselor dan klien maka
konseling akan berhasil
– Makin besar kesamaan pemohonan
tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, maka makin efektif konseling
tersebut
– Makin sederhana harapan yang
diinginkan oleh klien maka makin berhasil konseling tersebut
– Makin bersifat personal, penuh
suasana emosional suasana konseling antar budaya makin memudahkan konselor memahami
klien.
– Keefektifan konseling antara
budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi
– Keefektifan konseling akan
meningkat jika ada latihan khusus serta pemahaman terhadap permasalahan hidup
yang sesuai dengan budaya tersebut.
– Makin klien kurang memahami proses
konseling makin perlu konselor /program konseling antara budaya memberikan
pengarahan tentang proses ketrampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan dan
transfer.
F. Landasan ilmiah dan Teknologis
Pelayanan bimbingan dan konseling
merupakan kegiatan professional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang
menyangkut teori-teorinya, pelaksanaan kegiatannya, maupun
pengembangan-pengembangan layanan itu secara berkelanjutan.
1. Keilmuan Bimbingan dan Konseling
Ilmu bimbingan dan konseling adalah
berbagai pengetahuan tentang bimbingan dan konseling yang tersusun secara logis
dan sistematik. Sebagai layaknya ilmu-ilmu yang lain, ilmu bimbingan dan
konseling mempunyai obyek kajiannya sendiri, metode pengalihan pengetahuan yang
menjadi ruang lingkupnya, dan sistematika pemaparannya.
Obyek kajian bimbingan dan konseling
ialah upaya bantuan yang diberikan kepada individu yang mangacu pada ke-4
fungsi pelayanan yakni fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pemeliharaan/
pengembangan. Dalam menjabarkan tentang bimbingan dan konseling dapat digunakan
berbagai cara/ metode, seperti pengamatan, wawancara, analisis document
(Riwayat hidup, laporan perkembangan), prosedur teks penelitian, buku teks, dan
tulisan-tulisan ilmiah lainnya mengenai obyek kajian bimbingan dan konseling
merupakan wujud dari keilmuan bimbingan dan konseling.
2. Peran Ilmu Lain dan Teknologi
dalam Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan
ilmu yang bersifat multireferensial, artinya ilmu dengan rujukan berbagai ilmu
yang lain. Misalnya ilmu statistik dan evaluasi memberikan pemahaman dan
tehnik-tehnik. Pengukuran dan evaluasi karakteristik individu; biologi
memberikan pemahaman tentang kehidupan kejasmanian individu. Hal itu sangat penting
bagi teori dan praktek bimbingan dan konseling.
3. Pengembangan Bimbingan Konseling
Melalui Penelitian
Pengembangan teori dan pendekatan
bimbingan dan konseling boleh jadi dapat dikembangkan melalui proses pemikiran
dan perenungan, namun pengembangan yang lebih lengkap dan teruji didalam
praktek adalah apabila pemikiran dan perenungan itu memperhatikan pula
hasil-hasil penelitian dilapangan. Melalui penelitian suatu teori dan praktek
bimbingan dan konseling menemukan pembuktian tentang ketepatan/ keefektifan
dilapangan. Layanan bimbingan dan konseling akan semakin berkembangan dan maju
jika dilakukan penelitian secara terus menerus terhadap berbagai aspek yang
berhubungan dengan BK.
G. Landasan Pedagogis
Pendidikan itu merupakan salah satu
lembaga sosial yang universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial (
Budi Santoso, 1992)
1. Pendidikan sebagai upaya
pengembangan Individu: Bimbingan merupakan bentuk upaya pendidikan.
Pendidikan adalah upaya memanusiakan
manusia. Seorang bagi manusia hanya akan dapat menjadi manusia sesuai dengan
tuntutan budaya hanya melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, bagi manusia yang
telah lahir itu tidak akan mampu memperkembangkan dimensi keindividualannya,
kesosialisasinya, kesosilaanya dan keberagamaanya.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional menetapkan pengertian pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.
2. Pendidikan sebagai inti Proses
Bimbingan Konseling.
Bimbingan dan konseling mengembangkan
proses belajar yang dijalani oleh klien-kliennya. Kesadaran ini telah tampil
sejak pengembangan gerakan Bimbingan dan Konseling secara meluas di Amerika
Serikat . pada tahun 1953, Gistod telah menegaskan Bahwa Bimbingan dan
Konseling adalah proses yang berorientasi pada belajar……, belajar untuk
memahami lebih jauh tentang diri sendiri, belajar untuk mengembangkan dan
merupakan secara efektif berbagai pemahaman.. (dalam Belkin, 1975). Lebih jauh,
Nugent (1981) mengemukakan bahwa dalam konseling klien mempelajari ketrampilan
dalam pengambilan keputusan. Pemecahan masalah, tingkah laku, tindakan, serta
sikap-sikap baru . Dengan belajar itulah klien memperoleh berbagai hal yang
baru bagi dirinya; dengan memperoleh hal-hal baru itulah klien berkembang.
3. Pendidikan lebih lanjut sebagai
inti tujuan Bimbingan tujuan dan konseling
Tujuan Bimbingan dan Konseling
disamping memperkuat tujuan-tujuan pendidikan, juga menunjang proses pendidikan
pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti karena program-program bimbingan dan
konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya yang
menyangkut kawasan kematangan pendidikan karier, Kematangan personal dan
emosional, serta kematangan sosial, semuanya untuk peserta didik pada jenjang
pendidikan dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan menengah (Borders dan Drury,
1992). Hasil-hasil bimbingan dan konseling pada kawasan itu menunjang
keberhasilan pendidikan pada umumnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari pembahasan yang diuraikan
didepan dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling
memerlukan berbagai landasan, diantaranya:
1. Landasan Filosofis: Landasan
filosofis memberikan pemikiran-pemikiran tentang hakikat dan tujuan hidup
manusia dipandang dari perspektif filsafat untuk menemukan hakikat manusia secara
utuh mengingat bimbingan konseling akan selalu berkaitan dengan manusia sebagai
objeknya.
2. Landasan Historis: Landasan
histories menjelaskan alur/ sejarah kemunculan bimbingan konseling pertama
kali, yang menjadi titik awal lahirnya Bimbingan konseling untuk dijadikan
refleksi bagi bimbingan dan konseling kedepan dalam rangka menghasilkan
pelayanan yang lebih baik lagi.
3. Landasan Religius: Landasan
religius menggambarkan sisi-sisi agama yang perlu dikorek, diaplikasikan
kedalam pelayanan bimbingan dan konseling karena bimbingan dan konseling tidak
akan lepas dari manusia sebagai objeknya dan realitas bahwa manusia merupakan
makhluk religius.
4. Landasan Psikologis: Landasan
psikologis menggambarkan sisi-sisi psikis individu, sisi psikis tersebut berkenaan
dengan motif, motivasi, pembawaan dan lingkungan, perkembangan individu,
belajar, balikan dan penguatan dari kepribadian. Mengingat klien memiliki
psikis yang berbeda maka konselor harus memahami tentang landasan psikologis
5. Landasan Sosial Budaya: Landasan
social budaya menunjukkan pentingnya gambaran aspek-aspek social budaya yang
mewarnai kehidupan seseorang. Aspek social budaya inilah yang membentuk
individu selain factor pembawaan, tepatlah jika landasan ini menjadi bahan
pertimbangan dalam memberikan pelayanan bimbingan konseling.
6. Landasan Ilmiah dan Teknologi:
Landasan ilmiah dan teknologi membicarakan tentang sifat-sifat keilmuan
bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling sebagai ilmu yang
multireferensial menerima sumbangan dari ilmu-ilmu lain dan teknologi,
penelitian dalam bimbingan dan konseling memberikan masukan penting bagi
pengembangan keilmuan Bimbingan konseling.
7. Landasan Pedagogis: Landasan
pedagogis mengemukakan bahwa bimbingan merupakan salah satu bagian dari pendidikan
yang amat penting dalam upaya untuk memberikan bantuan (pemecahan-pemecahan
masalah) motivasi agar peserta didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
W.S,
Winkel, 1991, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta :
PT Grasindo.
Yusuf,
Syamsu dan Nurishan, A. Juntika, 2006, Landasan Bimbingan dan Konseling,
Bandung : Remaja Rosdakarya
Prayitno
dan Amti, Erman, 2004, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
Rineka Cipta.
0 Comments